Sedih, Daya Saing RI Kalah dari Vietnam
PT KONTAK PERKASA - Dalam urusan kesepakatan perdagangan bebas, Indonesia relatif tertinggal dibandingkan dengan negara-negara tetangga, seperti Vietnam, Malaysia, dan Thailand. Tanpa kesepakatan perdagangan bebas, daya saing barang ekspor Indonesia rendah lantaran terkena tarif bea masuk. PT KONTAK PERKASA - Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin), Rosan Perkasa Roeslani, berujar lambatnya negosiasi perdagangan bebas dengan beberapa negara membuat pasar ekspor tergerus negara lain yang sudah lebih dulu mengantongi perjanjian perdagangan bebas. Mereka diuntungkan dengan bea masuk 0% untuk komoditas tertentu, di Turki salah satu contohnya. "Perdagangan bebas memang perlu. Kemarin saya pulang dari Turki menemani Pak Presiden, ekspor kita itu tadinya US$ 350 juta tahun 2014, tahun 2015 tinggal US$ 60 juta, tahun lalu tinggal US$ 5 juta, kenapa? Rupanya mereka ambil semua dari Malaysia, karena Malaysia sudah ada FTA (free trade agreement) sejak tahun 2015, sehingga lebih kompetitif," kata Rosan di Hotel Mandarin, Jakarta, Senin (4/9/2017).
Menurutnya, pemerintah tak perlu terlalu cemas dengan adanya keterbukaan pasar, jika kesepakatan perdagangan bebas bisa dilakukan lebih hati-hati sehingga bisa saling menguntungkan. "Kan free trade (perdagangan bebas) enggak semua kita buka, ada yang perlu kita pertahankan juga. Memang ketinggalan kayak dengan Vietnam yang sudah lebih dulu banyak melakukan perdagangan bebas, jadi barang-barang mereka tarifnya lebih kompetitif dibandingkan dengan kita," pungkas Rosan. Sementara itu, Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kadin, Shinta Widjaja Kamdani, mengungkapkan keunggulan daya saing Vietnam tak hanya banyaknya kesepakatan perdagangan bebas, baik lewat FTA (free trade agreement) ataupun lewat CEPA (Comprehensive Economic Partnership Agreement). Namun juga kemudahan berinvestasi. "Dibanding Vietnam saja kita banyak kalahnya, enggak hanya soal CEPA dan FTA, tapi labour (buruh) kita juga sangat rigit kan. Tenaga kerja kita membuat kita lebih enggak kompetitif. Dari segi competitiveness Vietnam ini memberikan banyak insentif kepada kemudahan berusaha. Dan dari segi regulasi dan kebijakan banyak mendukung, seperti untuk labour dan perizinan," ujar Shinta. Dia mengungkapkan, rendahnya daya saing tersebut paling terasa pada sektor industri padat karya, terutama tekstil dan produk tekstil (TPT). "Paling pengaruh di padat karya, sekarang tekstil kita sudah sangat kalah dengan Vietnam, makanya ekspor Vietnam jauh lebih tinggi dari Indonesia. Padat karya kita benar-benar pengaruh dengan Vietnam," kata Shinta. Dalam kesempatan yang sama, Kepala Badan Koordinasi Pasar Modal (BKPM), Thomas Trikasih Lembong, keterlambatan negosiasi perjanjian perdagangan bebas membuat barang komoditas ekspor Indonesia lebih mahal ketimbang negara tetangga yang jadi pesaing terdekat. "Presiden beri contoh, Vietnam sudah punya (perjanjian perdagangan bebas) dengan EU (Uni Eropa), dikasih tarif (bea masuk) 0%. Kita belum punya, jadi barang dan jasa kita kena 10-17%. Tapi yang perlu disadari, ada asas resiprokal kalau negara lain mau, kita juga harus buka diri. Enggak masuk akal. Ini sesuatu yang masih perlu revolusi mental," jelas Lembong. Lanjut dia, selain kalah dengan Vietnam, Indonesia juga kalah gesit dibandingkan dengan dua negara tetangga lainnya seperti Thailand dan Malaysia dalam kesepakatan perdagangan bebas. Sampai-sampai, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menagihnya dalam rapat kabinet. "Di dalam sidang kabinet paripurna (Presiden) menagih perjanjian perdagangan dan investasi sampai di mana, karena kita ketinggalan jauh sekali dibanding negara tetangga Thailand dan Malaysia," ungkap Lembong. Keunggulan Vietnam Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan (Kemendag), Iman Pambagyo, mengatakan sistem pemerintahan di Vietnam jadi salah satu alasan negara tersebut lebih fleksibel dalam pengambilan keputusan, termasuk dalam hal kesepakatan perdagangan bebas dengan negara lain. "Saya cenderung enggak membedakan kita dengan Vietnam dengan negara mana pun, karena sistemnya lain, kalau di Vietnam kan sistemnya satu partai, yang di atas bilang A semua yang di bawah-bawah akan bilang A juga. Lain dengan Indonesia," ungkap Iman. Dia mengungkapkan, dalam perjanjian perdagangan bebas, ada kesepakatan yang perlu didetailkan lebih lanjut agar tak saling merugikan, yang sehingga membutuhkan pembahasan antar kementerian terkait, sehingga memakan waktu cukup lama. "Proses ya, saya pikir bukan lama atau cepat, yang penting kita dapatkan apa yang kita mau, kita juga bisa tetap amankan ruang. Saya juga maunya cepat, tapi enggak mau kebablasan just (hanya) mempercepat, akhirnya kita berakhir dengan perjanjian yang bagus dengan mereka dan jelek buat kita," pungkas Iman.
Source : detik.com